JOMBANG – Maraknya pelarangan terhadap keberadaan Jamaah Ahmadiyah di seluruh Indonesia memaksa Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) Jawa Timur bersikap. JIAD Jatim menuding, pemerintah dan aparatnya melanggar Hak Azasi Manusia (HAM).
Sikap dan alasan JIAD Jatim atas ulah pemerintah melarang keberadaan Jamaah Ahmadiyah lebih dikarenakan mementingkan sekelompok golongan tertentu. Sebab, menurut gabungan 15 elemen dan lembaga keagamaan masyarakat di Jawa Timur itu, pemerintah terlalu pongah dan apriori terhadap keberadaan Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI).
Dalam pernyataan sikap JIAD Jatim yang dirilis kemarin menyebut, pemerintah melalui Kejaksaan Agung RI Bakorpakem dan Departemen Agama (Depag) RI, sangat tidak mencerminkan toleransi antar umat beragama. Pemerintah, kata JIAD Jatim, telah membatasi ruang gerak adanya kebebasan berkeyakinan di Indonesia yang telah diatur dan dilindungi oleh undang-undang.
JIAD Jatim dalam pernyataan sikapnya, mendesak Depag, Depdagri dan Depkumham untuk tidak menerbitkan Surat keputusan Bersama (SKB) yang melarang keberadaan Ahmadiyah maupun seluruh aktifitas mereka. Dalam 5 butir pernyataannya itu, JIAD Jatim juga menegaskan, bahwa negara Indonesia adalah negara hukum bukan Negara kekuasaan yang seharusnya konsisten menjalankan konstitusi dan tidak mengeluarkan kebijakan untuk kepentingan kelompok tertentu.
”Kita juga meminta kepada seluruh aparat keamanan agar mengatisipasi dan menindak tegas segala bentuk provokasi, intimidasi, pengerusakan , kriminalisasi secara adil tanpa pandang bulu. Begitu pula dengan seluruh tokoh agama, kelompok keagamaan, organisasi masyarakat sipil agar senantiasa mengedepankan sikap toleran terhadap kelompok lain serta tidak mudah terhasut oleh provokasi untuk melakukan tindakan kekerasan yang menebar rasa permusuhan terhadap pihak lain,” kata Aan Anshori, Direktur Perhimpunan Lingkar Indonesia untuk Keadilan (LInK) Jombang, Minggu (20/4) kemarin. ”JIAD Jatim juga menghimbau kepada seluruh elemen bangsa agar senantiasa meletakkan agama sebagai bagian penting dari perdamaian, bukan sebagai pemicu kebencian,” lanjutnya berapi-api.
Menurut JIAD, dengan adanya pelarangan terhadap keberadaan JAI, berarti pemerintah Indonesia telah mendorong adanya aksi anarkis kelompok masyarakat. Pemerintah yang telah menyiapkan surat pembekuan dan pelarangan aktifitas kelompok Ahmadiyah sangat berakibat pada terbukanya ruang yang memicu munculnya eskalasi konflik di tingkat horizontal.
“Ini sekaligus merupakan pelecehan terhadap martabat bangsa Indonesia sebagai bangsa beradab dan menjunjung tinggi Hak Azasi Manusia. Kita akan dorong dilakukannya upaya hukum di tingkat nasional maupun internasional. Dengan begitu akan ada jaminan kebebasan dan berkeyakinan di Indonesia,” kritik Aan Anshori.
Hal yang sama juga diutarakan oleh KH. Ibnu Athoillah dari PP. Raudlatul Muta’allimin, Kota Probolinggo. Dikatakannya, jika mengacu pada 12 butir yang dibuat, JAI masih mengakui ketuhanan Islam, Allah Swt dan Muhammad Saw sebagai rasul.
”Sepanjang masih seperti itu, saya kira mereka tetap Islam. Syahadatnya kan juga sama dengan kita. Bisa di crosscheck di beberapa kitab yang mu’tabar di kalangan NU pun, seperti di Al Muwafaqot karya As Syathibi maupun kitab Fiqh Al Islam Wa Adillatihi karya Wahbah Az Zuhaili. Ini kebenaran dan itu harus di tunjukkan,” terang Gus Atho', sapaan akrab KH. Ibnu Athoillah.
Dihadapan para wartawan, pengasuh Ponpes Al Amin, Sooko Mojokerto, Gus Aang Baihaqi pun menyatakan, bahwa pelarangan Ahmadiyah semakin mempertegas akan berbahaya apabila negara atau kekuasaan 'berselingkuh' dengan kelompok agama mayoritas. Ia menilai, Islam mempunyai catatan buruk yang cukup panjang terhadap fenomena ini.
”Pelarangan ini merupakan langkah mundur dari peradaban yang dibangun di negeri ini. Hal ini lebih dikarenakan tidak adanya lagi ruang dialog yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh agama,” sambung Ketua Lakpesdam NU, Kabupaten Blitar, Zainal Rosyadi.
Disisi lain, Direktur CMARs, Surabaya, Wahyuni Widyaningsih mendesak, agar pemerintah benar-benar melindungi warga Ahmadiyah dari teror dan intimidasi. Pihaknya mengaku, akan melakukan koordinasi dengan anggota JIAD untuk menyiapkan shelter (rumah aman, red) untuk menampung siapa saja yang terdzalimi.
”Termasuk jika itu terjadi pada warga Ahmadiyah di daerah-daerah. Itu langkah kongkrit kita di JIAD pasca pertemuan ini,” tandas perempuan bertubuh segar ini antusias.
Ditambahkan juga oleh Supriyanto, Direktur Institute for Human Rights and Social Transformation INTHRUST Tulungagung, bahwa Indonesia harus malu ketika melakukan pelarangan atas keyakinan sebuah kelompok. Ia juga mencontohkan sejumlah negara-negara sekuler di Eropa seperti Inggris sangat melindungi kelompok agama tertentu.
”Mereka bisa hidup tentram tanpa ada gangguan, termasuk Ahmadiyah. Masak kita yang dikenal sebagai mayoritas berpenduduk muslim, tidak bisa bersikap lebih dari mereka ?” ujarnya dengan nada tanya. abd
Bookmark this post: | ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() |
0 komentar:
[+/-]Click to Show or Hide Old Comments[+/-]Show or Hide Comments
Posting Komentar
Komentar Anda ?